Tuesday, 7 April 2009

Berkarya dalam Keterbatasan

saya baru saja ikut rapat dengan mitra lokal kami untuk membahas kegiatan mitra lokal kami untuk media. media punya arti yang luas, di wikipedia, media (atau medium sebagai bentuk singular-nya) diartikan sebagai penyimpan atau alat yang digunakan untuk menyimpan dan menyampaikan informasi atau data. media sering disinonimkan dengan media berita atau media massa. sedangkan dalam kamus besar bahasa indonesia, media diartikan sebagai alat (sarana) komunikasi spt koran, majalah, radio, televisi, filem, poster, dan spanduk.

ketika kembali melihat pada program yang kami jalani sekarang, maka pengertian media yang kami pahami adalah kegiatan apapun yang menjadi alat untuk menyampaikan informasi, data, maupun pemikiran-pemikiran para anak muda sehingga dapat diketahui oleh para anggota masyarakat yang lain. kegiatan itu bisa berupa koran, buletin, majalah dinding, filem... tapi sebenarnya juga bisa menggunakan kegiatan yang lain, seperti kegiatan budaya, olahraga, dan lainnya... karena kami berangkat dari pengertian bahwa media itu ya semua sarana...

salah satu mitra lokal kami mempunyai target untuk tiap bulan menghasilkan sebuah buletin yang berisi kegiatan para anak muda di desa. ketika teman saya menanyakan, kapan itu akan ada? teman dari mitra lokal kami berkata bahwa ini juga nanti tergantung pada kemampuan para anak muda ketika menggunakan komputer... akan diadakan pelatihan dulu.

manager kami dalam rapat internal kami selalu mengajukan contoh sederhana bagaimana buletin itu bisa dibuat tanpa harus bergantung pada kecanggihan teknologi. saya jadi teringat pengalaman saya dulu, ketika saya menemani seorang mahasiswa dari Jepang, Hikaru Ishikawa, yang melakukan penelitian mengenai pekerja rumah tangga di jogja. kami mengunjungi sebuah lembaga bernama Rumpun Tjoet Nyak Dien yang memang memberikan dukungan kepada para pekerja rumah tangga. saya ditunjukkan pada beberapa edisi buletin hasil karya para pekerja rumah tangga. buletin sederhana yang berisi gambar, puisi, cerita, yang semuanya karya tangan tanpa menggunakan teknologi komputer. kemudian karya itu digandakan dengan mesin fotokopi. itu saja. sederhana tapi bermakna.

kadang kita berpikir terlalu jauh ketika akan membuat sesuatu yang sebenarnya bukan sesuatu itu yang kita tuju melainkan pesan yang kita sisipkan di dalam sesuatu itu... tapi karena kita merasa bahwa sesuatu itu harus indah secara teknis, maka kitapun jadi mandeg ketika kita belum mampu mencapai keindahan teknis itu. padahal, kita tidak perlu berhenti... yang dibutuhkan adalah niat dan kita tahu apa tujuan kita. dengan segala bentuk sumberdaya yang mungkin terbatas, yang ada di sekitar kita, PASTI kita mampu membuat suatu karya yang bermakna.

Thursday, 2 April 2009

Telah Terbiasa

mengubah kebiasaan memerlukan waktu yang lama, seperti juga ketika kita mencoba memahami bagaimana suatu budaya terbentuk. budaya terbentuk memerlukan waktu dan proses yang sangat lama sehingga suatu kebiasaan kemudian menjadi kesepakatan masyarakat dan akhirnya disebut sebagai budaya.

beberapa hari yang lalu saya pergi ke salah satu desa tempat program kami dilaksanakan. tujuan saya pergi karena saya ingin melihat pelaksanaan kegiatan salah satu mitra lokal kami yang mengintegrasikan peace building dan psikososial dalam kegiatan olahraga. pengen tau, gimana sih integrasinya...

saya melihat latihan bola voli... menarik, pelatih dari mitra lokal kami melalui latihan bola voli itu mendorong nilai-nilai penghargaan atas diri sendiri, menghormati orang lain, sportivitas selama berlangsungnya permainan bola voli tersebut. saya, teman satu tim saya, dan pelatih tersebut juga sempat mendiskusikan apa saja yang bisa kita integrasikan melalui kegiatan latihan itu... tidak hanya melalui latihan olahraganya, akan tetapi juga keadaan lain di luar latihan tersebut.

usai latihan, pelatih mengumpulkan remaja-remaja yang berlatih dan melakukan debriefing. mendiskusikan tentang latihan juga tentang nilai-nilai hidup yang dapat dibangun dari latihan olahraga yang dapat berguna bagi peace building. yang dibahas antara lain adalah mengenai kepercayaan diri, kebersihan tempat latihan, dan membangun pola hidup sehat.

ketika pertandingan voli berlangsung, salah satu tim berisi remaja-remaja yang sudah berpengalaman, sedangkan tim lawannya kurang. tim lawan ini sempat berkata kalau tim lawan lebih hebat. pelatih kemudian mengingatkan bahwa remaja perlu percaya pada dirinya sendiri, dan jangan merasa rendah diri karena dengan latihan yang baik dan rutin, merekapun bisa menjadi lebih baik. selain itu para remaja diminta untuk membuang gelas plastik bekas minum di tempat sampah atau kardus yang telah disediakan, dan larangan untuk merokok di tempat latihan.

yang menarik kemudian adalah, seorang remaja yang telah dipilih untuk menjadi asisten pelatih, usai debriefing itu malah ternyata membuang gelas bekas minum-nya sembarangan hohohoho... saya memperhatikan si remaja ini, dan saya lihat si remaja ini menyadari kalau saya memperhatikannya, kemudian si remaja ini menendang gelas bekas minumannya ke kardus tempat sampah hehehe...

saya jadi teringat pengalaman saya dulu waktu bersama anak-anak TK di America International School di San Jose, Costa Rica. saya bersama guru TK-nya membuat materi pelajaran tentang hemat air. ketika guru berdiskusi dengan anak-anak mengenai tindkan apa yang bisa dilakukan untuk menghemat air, anak-anak TK itu berkata, tidak meninggalkan keran air terbuka. yang terjadi kemudian ketika anak-anak TK itu selesai menggambar poster hemat air, salah satu anak ketika usai mencuci tangan, dia meninggalkan keran air itu tetap terbuka hehehehe...

mungkin wajar saja, namanya itu juga anak TK... tapi yang ingin saya katakan disini adalah, perlu usaha yang terus menerus, sabar, dan tidak bosan-bosannya untuk selalu mengingatkan ketika kita ingin mengubah perilaku ke perilaku yang lebih baik...

temen satu tim saya saja ketika setelah acara itu, tanpa dia sadari, secara refleks dia membuang begitu saja plastik segel tutup botol air kemasan hehehe... lalu kamipun mengingatkan dia... :D

pasti bisa... untuk mengubah perilaku, kalau itu memang untuk hidup yang lebih baik... hidup yang damai... :)

Berbahasa yang Mudah

pikiran ini muncul lagi sudah agak lama, ketika saya punya tugas untuk menyusun buku panduan tentang Peace Building, yang dapat dibaca oleh siapapun dan apapun latar belakangnya. sungguh tantangan yang sangat berat.

pertama, sebanyak apakah informasi yang bisa saya tulis dan sampaikan tanpa membuat kehilangan maksud bahwa nantinya para pembacanya setidaknya punya pengetahuan dasar tentang Peace Building. kedua, bagaimana diksi atau pilihan katanya. dan mencari kata-kata yang sederhana itu sungguh sangat susah. menyusun sebuah kalimat yang sederhana tapi bermakna juga sangat susah. sudah berapa lama saya berkutat dengan draft buku panduan dan saya terus berulang kali kembali lagi dan kembali lagi merevisi, meng-edit karena saya merasa kurang nyaman dengan pilihan kata dan kalimat yang saya pilih.

ketika saya akan memberikan training mengenai Do No Harm dan Peace Building, dan saya sedang menyiapkan materinya, beberapa materinya saya kirimkan ke teman-teman tim saya untuk mendapat masukan guna menyederhanakan lagi bahasa yang saya pilih.

pada dasarnya, saya juga bukan orang yang pandai berkata-kata indah... bahkan saya kadang kesulitan kalau harus menulis berpanjang-panjang dengan kata-kata yang "ajaib" yang kadang bikin saya minder... kok saya gak bisa ya pake istilah-istilah "ajaib" itu dan membuat saya berpikir, apakah saya bodoh ya, gak tau istilah2 dan hanya bisa nulis pendek2... huhuhuhu...

time and mind consuming sih... tapi saya senang karena buat saya, ketika saya bisa menjadi sederhana tapi bermakna, itulah capaian yang terindah bagi hidup saya...

tulisan ini saya dedikasikan untuk 2 orang guru saya, pak nanang dan pak rizal, yang selalu bisa membuat segala sesuatunya sederhana tapi bermakna... :)

Hal Kecil untuk Sesuatu yang Besar dan Berkelanjutan

beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk pergi ke lapangan, hadir pada pertemuan dengan anak-anak muda di desa. hal yang selalu saya tunggu, akan tetapi sangat jarang saya dapatkan karena kesibukan saya di kantor. tapi alhamdulillah hari ini urusan saya menulis-nulis modul dapat saya selesaikan cukup awal, sehingga saya bisa ikut pergi ke desa.

tujuan saya untuk ikut pergi ke desa adalah untuk melihat secara langsung bagaimana keadaan di lapangan, dan untuk melihat, di bagian mana sih unsur peace building itu akan masuk dalam program yang kami miliki. ketika saya hanya ada di kantor, dan hanya membaca laporan dari teman-teman yang pergi ke lapangan, saya kadang merasa kesulitan untuk menempatkan dimana unsur peace building-nya nanti yang secara praktikal.

tadi saya ada di desa. ikut menghadiri pertemuan dengan anak muda. dan saya mulai dapat melihat dan membayangkan bagaimana saya akan menjelaskan pada partner lokal kami, dimana sih letak peace building ini dalam program kita. o ya, kami akan memberi training untuk partner lokal beberapa waktu sesudahnya mengenai konsep-konsep yang kami gunakan dalam melaksanakan program, dan salah satunya adalah konsep peace building.

di akhir acara, setelah acara ditutup oleh fasilitator, maka anak-anak muda yang menghadiri pertemuan pun meninggalkan ruangan meunasah. sontak ada pemandangan yang membuat saya terusik, dan menemukan, inilah pintu masuknya. pemandangan pada saat itu adalah: anak-anak muda pergi meninggalkan ruangan, dan gelas-gelas air mineral yang kosong dan kotak-kotak makanan ditinggalkan di dalam ruangan. kemudian teman-teman partner lokal dan dibantu 2 orang anak muda, mulai mengumpulkan gelas-gelas air mineral dan kotak makanan itu untuk dibuang di tempat sampah.

peace building, membangun perdamaian (itu terjemahan yang kami pakai) dapat dimulai dari yang besar... tapi bisa juga dimulai dari yang kecil... dan biasanya - atau bisa dikatakan malah selalu, dari yang kecil ini yang dapat menjaga perdamaian yang berkelanjutan.

dari saya pribadi, yang inginkan dari program ini ketika program ini selesai, bukanlah sekelompok anak muda yang mampu tampil dalam masyarakatnya untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat dengan keterampilan negosiasi, mediasi, dan lainnya yang cukup rumit. yang saya bayangkan adalah sekelompok anak muda yang punya perubahan pola pikir. pola pikir yang memikirkan kemaslahatan bersama.

bagi saya, program ini dikatakan berhasil ketika di akhir program, anak-anak muda ini merasa risih dan terganggu jika melihat ada orang buang sampah sembarangan. anak-anak muda ini tanpa disuruh langsung memungut sampah yang tercecer dan membuangnya di tempat sampah. anak-anak muda ini ketika mengeluarkan pendapat, mereka menghargai urutan. mereka tidak memotong pendapat orang lain dan menghargai pendapat orang lain, tidak menertawakan.

hal-hal kecil yang mungkin sepele, akan tetapi sebenarnya adalah pondasi yang sangat diperlukan untuk membangun perdamaian yang berkelanjutan. melatih kedisiplinan anak muda melalui acara upacara bendera adalah non sense. upacara bendera tidak membuat anak-anak muda menjadi disiplin akan tetapi menjadi penakut atau malah jadi pemberontak. akan tetapi ketika anak-anak muda itu secara terus menerus di tiap akhir acara pertemuan diminta untuk menempatkan gelas-gelas air mineral dan kotak makanan mereka di tempat sampah, dan pada saat yang sama dijelaskan juga pada mereka apa tujuan dari permintaan itu, maka ini akan menjadi sebuah kebiasaan yang akhirnya menumbuhkan kedisiplinan.

itu harapan saya.

Sensitivitas Budaya

beberapa waktu lalu saya kebagian untuk menjadi narasumber dalam diskusi internal program kami. bingung juga waktu itu, mau bikin diskusi dengan topik apa ya... temen-temen saya waktu itu mengajukan saya sebagai narasumber pertama dalam diskusi internal kami itu karena saya diminta untuk berbagi cerita tentang kepergian saya 3 minggu ke Oeiras. tapi saya pengen mengaitkan pengalaman saya di Oeiras itu dengan kerja program kami.

tiba-tiba saya teringat satu hal. hal yang mungkin kecil tapi sangat membekas buat saya. temen satu tim saya, Icut, sempet nyentil saya ketika kami selesai mengadakan lokakarya di Banda Aceh. dan dari sentilan itu saya akhirnya punya ide untuk bicara tentang Sensitivitas Budaya.

jadi gini ceritanya, di lokakarya yang dihadiri perwakilan NGO dan INGO, juga instansi pemerintah, kebetulan saya yang menjadi fasilitator lokakarya tersebut. dan karena sudah menjadi kebiasaan saya, ketika saya berada di setting yang menurut saya nyaman, dan saya kenal dengan baik, saya akan bersikap cukup informal... waktu itu saya memfasilitasi diskusi dengan duduk di meja.

beberapa hari sesudah lokakarya, icut berkata pada saya sambil menunjukkan foto saya yang duduk di meja. icut waktu itu bilang bahwa dia akan tunjukkan di meeting internal bahwa saya bersikap kurang sopan di lokakarya.. yaitu duduk di meja.

sudah menjadi kebiasaan saya sepulang saya dari UPEACE, saya menjadi lebih bebas untuk mengekspresikan diri. saya lebih menekankan diri pada isi yang saya bicarakan daripada harus berpikir mengenai sopan dan ketidaksopanan. dan bagi saya, duduk di atas meja masih dalam batas kesopanan, apalagi saat itu, di dalam lokakarya di Banda Aceh itu, saya ingin mencairkan suasana.. biar gak formal2 banged lah, dan juga biar lebih akrab... makanya saya pakai acara duduk di atas meja.

tapi ternyata kita memang harus benar-benar berpikir dengan baik dan bijak, apalagi kalau ini sudah menyangkut masalah budaya (budaya yang saya maksud adalah suatu kesepakatan bersama dalam suatu komunitas yang kemudian menjadi tata laku komunitas itu).

di Oeiras, ketika saya menjadi trainer untuk calon2 relawan Peace Brigades International, saya memperkenalkan kepada mereka budaya yang ada di masyarakat Indonesia.. apa sih yang dianggap sopan, dan apa yang dianggap kurang sopan, karena para relawan nantinya akan hidup di Indonesia, dan hidup membaur dengan masyarakat Indonesia.

ketika kita menjadi sensitif akan budaya, bukan berarti kita mengubah nilai-nilai yang kita anut selama ini dan kemudian mengikuti budaya masyarakat dimana kita tinggal, akan tetapi menjadi sensitif atas budaya adalah kita menjadi paham dan sadar bahwa kita punya tata aturan yang berbeda dengan masyarakat dimana kita kunjungi, dan kita harus memikirkan ketika kita akan bertingkah laku, apakah tingkah laku yang akan kita lakukan itu bertentangan nggak ya dengan budaya yang berlaku di masyarakat setempat. selain itu kita juga mencoba untuk mengerti dan memahami budaya yang berlaku di masyarakat setempat, tidak memandangnya sebagai sesuatu yang aneh atau bahkan lebih rendah dari budaya kita.

menjadi sensitif atas budaya sangat diperlukan ketika kita ingin membangun kepercayaan dari masyarakat setempat. jangan sampai karena kita tidak sensitif atas budaya masyarakat setempat, kita harus angkat kaki dan tidak pernah dipercaya lagi...

Mengubah Pola Pikir

saat ini saya bekerja dengan tim yang melaksanakan sebuah program peace building dengan sasaran anak usia muda 15-24 tahun. tantangan yang berat bagi kami karena kami datang dengan sebuah program baru yang berbeda dari program-program yang selama ini sudah terlebih dahulu masuk ke dalam masyarakat.

selama ini program-program yang diterima masyarakat lebih banyak berupa program yang terlihat nyata seperti pemberian bantuan modal, pembangunan sarana dan prasarana. sedangkan kami datang dengan sebuah program yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas diri para anak muda. kapasitas diri untuk berorganisasi, kapasitas diri untuk mampu berperan serta dalam pengambilan keputusan di tingkat desa, kapasitas diri untuk mampu menyelesaikan masalah yang muncul dalam masyarakat secara nir kekerasan, dan kapasitas diri untuk menjadi agen perdamaian di masyarakat.

sangat abstrak, dan hasilnya tidak akan bisa dilihat secara cepat.

saat ini kami berada di tahap awal program kami, dan kami berhadapan dengan tantangan-tantangan yang sebagian besar berupa pertanyaan dari masyarakat mengenai apa bentuk konkrit dari program kami? apakah kami akan memberi uang? apakah kami akan membangun sesuatu? dan masyarakat juga berkata bahwa program seperti yang kami rencanakan ini akan sulit untuk terlaksana dengan baik.

kadang sedih dan mikir, duh... gimana ya untuk meyakinkan masyarakat.. tapi kami yakin, kami pasti bisa!!!

doakan kami ya!!!!

Sunday, 15 March 2009

Strategi Peace Building = Strategi Berkomunikasi

Membuat suatu perubahan, apalagi jika yang dituju adalah perubahan yang mendasar, seperti perubahan pola tingkah laku dan cara berpikir, maka diperlukan strategi yang tepat, yang harus dipikirkan masak-masak, agar nantinya – sesuai dengan pendekatan Do No Harm – apa yang kita lakukan tidak membawa pada kerusakan… kita tidak menjadi pemisah, akan tetapi kita menjadi penghubung bagi usaha menuju kebaikan bersama.

Hari ini, kami semua, tim saya bersama partner lokal melakukan pertemuan untuk membahas kegiatan yang telah kami laksanakan sejauh ini… apa saya yang bis akita evaluasi, perbaiki, menemukan tantangan, dan apa keberhasilan yang sudah dicapai juga.

Beberapa hal menarik saya catat dari pertemuan tersebut sebagai poin2 penting yang perlu diperhatikan ketika kita menyusun strategi.

Pertama adalah percaya pada kemampuan dan pengalaman diri, juga mitra kerja kita. Sebagai pihak yang membawakan kegiatan, ketika kita terdiri dari beberapa orang, pasti tiap orang datang dengan membawa kemampuan dan pengalaman masing-masing. Kita sebagai sebuah pribadi harus percaya dulu pada kemampuan kita… kemudian kita juga harus percaya bahwa teman-teman kita juga punya kemampuan dan pengalaman yang sama dan sejajar dengan kita. Diperlukan adanya rasa saling menghormati, menghargai, dan mempercayai agar kita bisa menjadi sebuah tim yang solid dan kuat. Ketika dirasa ada salah satu pihak yang kurang sesuai dengan tujuan bersama, maka membuka ruang diskusi, memecahkan masalah bersama adalah cara yang paling tepat. Tidak dengan mendiskreditkan pengalaman dan kemampuan dari teman kita, tapi dengan mengajak teman-teman semua untuk memikirkan apa sih yang jadi tantangannya dan bagaimana kita sebagai satu tim bisa menyelesaikannya bersama. Cara kita berkomunikasi menjadi sangat penting... membuat suatu percakapan yang tidak berkesan memojokkan menjadi kunci utamanya.

Kedua adalah kerjasama dan kolaborasi. Seperti dinayatakan dalam salah satu prinsip untuk membuat kegiatan peace building, maka kerjasama dan kolaborasi adalah salah satu prinsipnya. Kita nggak bisa kerja sendiri... peace building itu masalah saling melengkapi, masalah saling mengisi... keberhasilan usaha membangun perdamaian adalah keberhasilan dari semua sektor kehidupan. Dan semua sektor sama pentingnya. Jadi... kembali lagi, berkomunikasilah agar kita bisa saling tahu apa yang kita kerjakan, dan kita lihat dimana kita bisa saling mengisi dan kerjasama.

Ketika berbicara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam usaha peace building, dan kita melihat pada hierarki kekuasaan, maka kita akan melihat ada 3 strata. Yang paling atas adalah mereka yang punya kekuasaan secara resmi, para pembuat kebijakan… yang di tengah adalah penguasa2 informal seperti tokoh agama dan tokoh masyarakat – mereka yang dihormati dan didengarkan oleh masyarakat, kemudian di lapis paling bawah adalah masyarakat umum. Untuk meng-golkan usaha kita, mendekati pihak yang berada di pihak paling atas juga di tengah adalah hal yang penting… karena mereka adalah pemberi legitimasi, baik yang resmi maupun informal. Tapi tetap juga kita harus memperhatikan masyarakat umum yang ada di lapis terbawah.. tetap mereka juga punya kuasa, dan terlebih lagi mereka adalah target… jadi kita harus memperhatikan apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Kekuasaan ada di tangan mereka. Lagi2 disini kita perlu memperhatikan cara kita berkomunikasi agar kita dapat mendapat persetujuan dari pihak-pihak yang punya kuasa itu agar kegiatan kita berjalan lancar.

Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung… menghormati adapt istiadat setempat menjadi hal sangat penting yang harus diperhatikan. Apalagi ketika kita masuk dalam suatu daerah yang sangat menjunjung adapt istiadat. Jangan sampai deh kita malah menjadi trouble maker hanya karena kita ingin menawarkan (ingat… bahkan ketika pada tahap menawarkan saja!!!) sesuatu yang baru. Dan bagaimana agar tidak terjadi mis-komunikasi ketika kita menawarkan sesuatu yang baru dan tidak dianggap sebagai trouble maker? Sekali lagi komunikasi… hehehe…

Lain lubuk lain ikannya. Tiap daerah punya sifat karakteristik masing-masing. Baik, mungkin pernah kita berhasil di suatu daerah yang mungkin kita lihat punya banyak kemiripan dengan daerah yang kita datangi sekarang, tapi selalu ingatlah pepatah lain lain lubuk lain ikannya. Tiap daerah punya karakteristik masing-masing yang khusus, yang tidak bisa diberi resep yang sama. Itulah mengapa kegiatan membangun perdamaian sangat beragam, penuh kreatifitas dan inovasi. Karena kita harus selalu memenuhi kebutuhan yang disesuaikan dengan karakter daerah masing-masing. Perlu suatu assessment dan analisis yang dalam sebelum kita sampai pada keputusan untuk melakukan suatu aksi. Kumpulkan data sebanyak mungkin, analisis sedalam mungkin. Untuk tahu apa sih keunikan ataupun karakter masing-masing daerah? Jangan segan-segan untuk selalu berkomunikasi.. bertanya sebanyak mungkin… perbanyak bank data kita.

Membangun perdamaian adalah membangun budaya, karakter diri pribadi dan masyarakat sehingga hidup kesehariannya dipenuhi nilai-nilai perdamaian. Dan perubahan seperti apa yang paling baik? Yaitu perbuhan dari dalam masing-masing individu. Perubahan cara pandang, perubahan perilaku, bukanlah usaha instan yang dalam sekejap bisa terjadi. Seperti halnya budaya yang terbentuk dalam masyarakat selama bertahun-tahun… maka perubahan diri pribadi juga perlu waktu yang panjang… perubahan diri tidak bisa dipaksakan. Kalau dipaksakan, maka yang terbentuk bukanlah suatu perubahan yang alamiah, tapi perubahan yang terpaksa, yang malah hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran untuk mau berubah? Untuk terakhirnya saya bilang komunikasi. Komunikasi yang intens, terus menerus, disesuaikan dengan keadaan, disesuaikan dengan kebutuhan.

Dari semua hal diatas yang saya sampaikan, maka benang merahnya adalah komunikasi. Komunikasi dengan berbagai cara, baik verbal maupun non-verbal. Membangun strategi peace building yang baik adalah membangun strategi untuk mengkomunikasikan perubahan… dan mengkomunikasikan perubahan ini ada banyak bentuknya, melalui kegiatan, melalui dialog verbal, melalui tulisan, melalui olahraga, melalui berbagai cara kreatif lainnya.

Jangan pernah berhenti berpikir kreatif. Jangan pernah puas dengan hasil yang telah kita capai. Jangan pernah berhenti membangun komunikasi yang aktif, positif, dan tanpa kekerasan.

Thursday, 5 February 2009

Pendidikan Perdamaian dan Membangun Perdamaian

Kita seringkali mendengar istilah Peace Building, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ada banyak terjemahannya... ada yang menerjemahkan sebagai Bina Damai, Pembangunan Perdamaian, atau juga Membangun Perdamaian. untuk tulisan saya, saya memakai yang terjemahan yang terakhir, Membangun Perdamaian.


Proses Membangun Perdamaian adalah proses yang berkelanjutan dan tidak pernah berhenti. Kegiatan-kegiatan untuk mewujudkan perdamaian yang menyeluruh merupakan kerja yang terintegrasi dari banyak komponen. Dengan menggunakan Segitiga Pendidikan Perdamaian, maka dapat dijelaskan juga dengan lebih mudah apa saja yang termaktub dalam kegiatan Membangun Perdamaian.


Dalam Segitiga Pendidikan Perdamaian, 3 elemen utama yang menyusun Pendidikan Perdamaian adalah muatan, hubungan, dan metode. Maka dalam Membangun Perdamaian, ketiga elemen itu dapat kita gunakan juga untuk menjelaskan mengenai apa itu Membangun Perdamaian.


Muatan yang ingin diwujudkan dalam Membangun Perdamaian adalah terwujudnya Pemerintahan yang Baik (good governance), keteraturan dan penegakan hukum, demokrasi partisipatif, dan pemenuhan hak asasi manusia. Muatan-muatan tersebut tidak berdiri sendiri akan tetapi terkait satu sama lain. Pemerintahan yang baik diperlukan guna menjamin terbentuknya aturan hukum yang jelas, pelaksanaan demokrasi yang partisipatif, juga terpenuhinya hak-hak asasi manusia. Demikian pula dengan adanya aturan dan penegakan hukum, maka demokrasi partisipatif dapat berjalan lancar, hak asasi manusia juga dapat terjamin, dan sekaligus dapat mengontrol berjalannya pemerintahan yang baik. Demokrasi partisipatif dari semua warga masyarakat menjadi sarana untuk penyuaraan pemenuhan hak asasi manusia, pengawasan pemerintahan yang baik, juga permintaan jaminan agar hukum ditegakkan. Dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi dasar agar tiap individu dapat menjalankan pemerintahan dengan baik, dapat menjalankan fungsi mereka dalam menegakkan hukum, dan partisipasi dalam demokrasi sendiri sudah menjadi bagian dari terpenuhinya hak asasi manusia.


Hubungan yang dimaksud dalam Membangun Perdamaian adalah kesetaraan peran dari semua pihak dalam Membangun Perdamaian. Semua elemen dalam masyarakat, baik aparat pemerintahan, aparat keamanan, anggota masyarakat, wanita, pria, anak-anak, orang usia lanjut, kelompok minoritas dan mayoritas, semuanya mempunyai kedudukan yang setara dan sama-sama memiliki posisi penting dalam Membangun Perdamaian. Setiap individu dengan peran dan tanggung jawabnya masing-masing mempunyai kontribusi yang signifikan bagi tercapainya perdamaian yang seutuhnya.


Metode yang dipakai dalam Membangun Perdamaian adalah metode-metode yang meninggalkan cara-cara kekerasan, mengarusutamakan cara-cara nir-kekerasan, melibatkan semua pihak tanpa terkecuali dan tanpa diskriminasi, membuka ruang dialog untuk mencapai kesejahteraan bersama, dan menggunakan strategi yang memikirkan rencana jangka pendek sekaligus juga jangka menengah dan jangka panjang. membangun Perdamaian bukan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, akan tetapi juga memikirkan apakah hasil dari kegiatan Membangun Perdamaian yang dilakukan pada saat ini juga dapat menjamin keberlangsungan perdamaian yang ada. Apakah anak cucu kita nanti juga masih tetap dapat menikmati perdamaian.


Pendidikan Perdamaian dan Membangun Perdamaian memang kemudian menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling mengisi. Ketika kita melakukan kegiatan Membangun Perdamaian, maka pada saat itulah kita melaksanakan Pendidikan Perdamaian.